Akhir-akhir ini banyak media yang menampilkan perempuan dan anak sebagai obyek penderita. Dan di sisi lainnya perempuan dan anak ditampilkan sebagai kebalikannya, yaitu sebagai pihak yang ambisius, serakah dan penyebab dari segala keburukan, bahkan dalam tayangan-tayangan yang mengatasnamakan agama. Salah satu contoh adalah sinetron Hidayah atau dalam sinetron Cinta Fitri. Hal tersebut menunjukkan industri media menempatkan seolah-olah perempuan adalah biang keburukan dan laki-laki tidak menjadi pertimbangan dalam cerita-cerita tersebut. Keprihatinan melihat perkembangan sinetron kita yang seolah-hidup hadir di ruang hampa, yang mengabaikan logika dan kecerdasan penontonnya dan menghadirkan representasi yang buruk dari kaum perempuan. Berbagai adegan dan kalimat dalam sinetron menunjukkan kecenderungan tersebut.
Sinetron-sinetron lainnya tak jauh berbeda. Sinetron Hikmah, misalnya. Hikmah riuh dengan kata-kata pedas, kata hinaan dan caci maki. Berikut ini penggalan kalimat dari sinetron itu: ''...kamu pikir kamu akan makan dengan kita?, heh kamu hanya pantas makan makanan pembantu, makanan sisa kita!'' Atau yang ini, ''... kamu bekas pelayan toko, mana bisa jadi juru rawat?'' Sedangkan sinetron lain berjudul Liontin seolah hanya sibuk mencari kata-kata hinaan, seperti ini, ''...saya tidak ingin Rendy (anak laki-laki orang yang berbicara) punya hubungan dengan anak sopir...'' ''Memang tidak ada perempuan lain selain anak sopir, ... jodoh kamu adalah orang yang sejajar dengan kamu!''
Pada hematnya, apakah itu pada periode sinetron misteri dan hantu, atau periode cerita remaja dan anak sekolah yang marak sekarang ini, ada satu ciri khas yang selalu diusung oleh sinetron kita, yakni pertentangan antara rasa dengki, serakah, dan culas versi penderitaan, kemalangan dan ketertindasan. Akhir ceritanya sudah bisa ditebak, si cantik yang menderita dan tertindas akan menang dan mendapat kebahagiaan. Tetapi sepanjang penayangan, jalan cerita yang tidak melebar ke mana-mana serta penggunaan logika adalah dua hal yang hilang dan tidak terasa penting. Mungkin karena yang penting di sana adalah tema si baik melawan si jahat, serta akhir cerita yang memenangkan tokoh yang menderita.
Yang juga menyedihkan, sinetron umumnya ditayangkan antara pukul 13 hingga 21 Waktu Indonesia Barat (WIB). Pada jam-jam itu pula umumnya anak-anak ada di depan pesawat televisi. Tentu mereka bisa dengan mudah mengakses acara sinetron yang sedang tayang. Jangan lupa, di antaranya adalah (sinetron remaja) yang kadang-kadang (jika stasiun televisi tidak lupa) sudah mencantumkan label SU (semua umur) sehingga secara sepintas tampaknya itu adalah tontonan aman. Tapi, benarkah aman? Kata-kata hinaan kepada pembantu, bekas pelayan toko, anak tiri, dan sebagainya termasuk adegan menampar, membenturkan kepala, memukul dengan sapu ada dalam tayangan sinetron antara pukul 13 hingga 19. Bahkan dalam sebuah sinetron yang ditayangkan pukul 14 di Indosiar, terdapat adegan anak perempuan berjingkrak-jingkrak gembira melihat seorang pria disiram minyak tanah dan dibakar hidup-hidup! Sungguh amat sukar dipercaya.
Adakah industri sinetron ini ingat bahwa sinetron-sinetron itu menggunakan televisi sebagai medium penayangannya, yang artinya bisa diakses oleh penonton dari semua lapisan umur? Sebagian besar sinetron televisi kita mengandung keganjilan-keganjilan logika dan representasi yang buruk dari kaum perempuan. Kami tidak yakin benar apakah itu semua 100% cerminan realita di masyarakat kita. Yang pasti, mereka yang bertanggung jawab memproduksi dan menayangkannya, yakni stasiun televisi (lokal dan nasional), produser, serta penulis skenario di rumah produksi harus mulai memberi perhatian serius terhadap hal ini dan melakukan perbaikan. Setidaknya ada tiga hal krusial yang patut menjadi perhatian mereka.
Pertama, ada kecenderungan yang hampir merata pada sinetron-sinetron sekarang untuk mengangkat tema 'yang lemah, yang terzalimi akan menang dengan pertolongan Tuhan Yang Makakuasa'. Lihatlah judulnya, Tuhan Ada di Mana-Mana, Hikmah, Di Balik Kuasa Tuhan, Kusebut NamaMu, Taubat, dan sebagainya. Tidak itu saja, sinetron lain seperti Liontin, Tangisan Anak Tiri, dan Bidadari juga mencoba menggapai rating tinggi dengan tema yang sama.
Tokoh utama sinetron-sinetron ini umumnya adalah perempuan yang memiliki sifat sabar, takwa pada Tuhan, jujur, berbaik sangka kepada siapa pun dan seterusnya. Kita semua tentu sepakat, itulah nilai-nilai luhur yang harus diteladani. Tetapi sayangnya, di dalam sinetron kita, orang yang mempunyai sifat-sifat mulia justru digambarkan lemah, tak berdaya, submisif, dan takut kualat kepada laki-laki. Tidakkah stasiun televisi, para produser, serta penulis skenario sinetron mestinya sadar bahwa alih-alih menyampaikan pesan 'luhur' dalam balutan hiburan, sinetron mereka justru telah melanggengkan pandangan patriarkis dan stereotip yang merugikan kaum perempuan?
Kedua, mari kita tengok dampak buruk sinetron terhadap anak-anak. Kelompok anak-anak (3-10 tahun) sangat mudah menangkap dan menirukan kata-kata kasar, adegan kekerasan, dan perbuatan merendahkan perempuan yang mereka lihat. Meski perilaku buruk atau kriminal anak dan remaja tidak bisa sepenuhnya dipersalahkan kepada media, stasiun televisi dan produser sinetron harus menyadari bahwa anak-anak ikut menonton sinetron. Terutama jika ibu atau pengasuh mereka menjadi penonton setianya. Dan mengingat tayangan televisi mampu membangkitkan respons tidak sadar dari pemirsanya (baca: anak-anak), sinetron yang riuh dengan caci maki serta adegan kekerasan bisa menjadi sesuatu lumrah dan umum bagi anak-anak.
Ketiga, pada era di mana televisi adalah satu dari institusi ideologis yang paling omnipotent dan omnipresent, mau tidak mau stasiun televisi harus ikut mendukung kampanye antikekerasan terhadap perempuan. Tuntutan ini amatlah tidak berlebihan, mengingat remaja kita terutama remaja putri terus diiming-iming oleh hiburan yang tak bertanggung jawab dari VCD/DVD porno, majalah porno, dan situs-situs internet. Pendidik dan pengamat media Earle Barcus di dalam bukunya Images of Life on Children's Television menegaskan, dewasa ini sedikit yang meragukan bahwa anak-anak dan remaja belajar nilai-nilai, peran sosial, dan tingkah laku dari tontonan televisi. Deskripsi di televisi tentang kelompok minoritas, pembagian peran berdasarkan jenis kelamin dan hubungan-hubungan dalam keluarga bisa memberi dampak mendalam terhadap perilaku anak dan remaja di dalam masyarakat.
Oleh karena itu, sebagai industri kapitalistik, stasiun televisi dan rumah produksi dituntut untuk tidak semata-mata mengejar keuntungan materi. Persoalan tanggung jawab dalam melahirkan dan membina generasi muda yang cerdas dan memiliki wawasan gender tidak hanya milik para guru dan orang tua. Media televisi, sebagai institusi ideologis sebagaimana dikatakan oleh Michel Foucault, harus berperan serta secara aktif. Di antaranya tentu dengan menghadirkan sinetron yang menghargai logika penontonnya. (bob)
Sinetron-sinetron lainnya tak jauh berbeda. Sinetron Hikmah, misalnya. Hikmah riuh dengan kata-kata pedas, kata hinaan dan caci maki. Berikut ini penggalan kalimat dari sinetron itu: ''...kamu pikir kamu akan makan dengan kita?, heh kamu hanya pantas makan makanan pembantu, makanan sisa kita!'' Atau yang ini, ''... kamu bekas pelayan toko, mana bisa jadi juru rawat?'' Sedangkan sinetron lain berjudul Liontin seolah hanya sibuk mencari kata-kata hinaan, seperti ini, ''...saya tidak ingin Rendy (anak laki-laki orang yang berbicara) punya hubungan dengan anak sopir...'' ''Memang tidak ada perempuan lain selain anak sopir, ... jodoh kamu adalah orang yang sejajar dengan kamu!''
Pada hematnya, apakah itu pada periode sinetron misteri dan hantu, atau periode cerita remaja dan anak sekolah yang marak sekarang ini, ada satu ciri khas yang selalu diusung oleh sinetron kita, yakni pertentangan antara rasa dengki, serakah, dan culas versi penderitaan, kemalangan dan ketertindasan. Akhir ceritanya sudah bisa ditebak, si cantik yang menderita dan tertindas akan menang dan mendapat kebahagiaan. Tetapi sepanjang penayangan, jalan cerita yang tidak melebar ke mana-mana serta penggunaan logika adalah dua hal yang hilang dan tidak terasa penting. Mungkin karena yang penting di sana adalah tema si baik melawan si jahat, serta akhir cerita yang memenangkan tokoh yang menderita.
Yang juga menyedihkan, sinetron umumnya ditayangkan antara pukul 13 hingga 21 Waktu Indonesia Barat (WIB). Pada jam-jam itu pula umumnya anak-anak ada di depan pesawat televisi. Tentu mereka bisa dengan mudah mengakses acara sinetron yang sedang tayang. Jangan lupa, di antaranya adalah (sinetron remaja) yang kadang-kadang (jika stasiun televisi tidak lupa) sudah mencantumkan label SU (semua umur) sehingga secara sepintas tampaknya itu adalah tontonan aman. Tapi, benarkah aman? Kata-kata hinaan kepada pembantu, bekas pelayan toko, anak tiri, dan sebagainya termasuk adegan menampar, membenturkan kepala, memukul dengan sapu ada dalam tayangan sinetron antara pukul 13 hingga 19. Bahkan dalam sebuah sinetron yang ditayangkan pukul 14 di Indosiar, terdapat adegan anak perempuan berjingkrak-jingkrak gembira melihat seorang pria disiram minyak tanah dan dibakar hidup-hidup! Sungguh amat sukar dipercaya.
Adakah industri sinetron ini ingat bahwa sinetron-sinetron itu menggunakan televisi sebagai medium penayangannya, yang artinya bisa diakses oleh penonton dari semua lapisan umur? Sebagian besar sinetron televisi kita mengandung keganjilan-keganjilan logika dan representasi yang buruk dari kaum perempuan. Kami tidak yakin benar apakah itu semua 100% cerminan realita di masyarakat kita. Yang pasti, mereka yang bertanggung jawab memproduksi dan menayangkannya, yakni stasiun televisi (lokal dan nasional), produser, serta penulis skenario di rumah produksi harus mulai memberi perhatian serius terhadap hal ini dan melakukan perbaikan. Setidaknya ada tiga hal krusial yang patut menjadi perhatian mereka.
Pertama, ada kecenderungan yang hampir merata pada sinetron-sinetron sekarang untuk mengangkat tema 'yang lemah, yang terzalimi akan menang dengan pertolongan Tuhan Yang Makakuasa'. Lihatlah judulnya, Tuhan Ada di Mana-Mana, Hikmah, Di Balik Kuasa Tuhan, Kusebut NamaMu, Taubat, dan sebagainya. Tidak itu saja, sinetron lain seperti Liontin, Tangisan Anak Tiri, dan Bidadari juga mencoba menggapai rating tinggi dengan tema yang sama.
Tokoh utama sinetron-sinetron ini umumnya adalah perempuan yang memiliki sifat sabar, takwa pada Tuhan, jujur, berbaik sangka kepada siapa pun dan seterusnya. Kita semua tentu sepakat, itulah nilai-nilai luhur yang harus diteladani. Tetapi sayangnya, di dalam sinetron kita, orang yang mempunyai sifat-sifat mulia justru digambarkan lemah, tak berdaya, submisif, dan takut kualat kepada laki-laki. Tidakkah stasiun televisi, para produser, serta penulis skenario sinetron mestinya sadar bahwa alih-alih menyampaikan pesan 'luhur' dalam balutan hiburan, sinetron mereka justru telah melanggengkan pandangan patriarkis dan stereotip yang merugikan kaum perempuan?
Kedua, mari kita tengok dampak buruk sinetron terhadap anak-anak. Kelompok anak-anak (3-10 tahun) sangat mudah menangkap dan menirukan kata-kata kasar, adegan kekerasan, dan perbuatan merendahkan perempuan yang mereka lihat. Meski perilaku buruk atau kriminal anak dan remaja tidak bisa sepenuhnya dipersalahkan kepada media, stasiun televisi dan produser sinetron harus menyadari bahwa anak-anak ikut menonton sinetron. Terutama jika ibu atau pengasuh mereka menjadi penonton setianya. Dan mengingat tayangan televisi mampu membangkitkan respons tidak sadar dari pemirsanya (baca: anak-anak), sinetron yang riuh dengan caci maki serta adegan kekerasan bisa menjadi sesuatu lumrah dan umum bagi anak-anak.
Ketiga, pada era di mana televisi adalah satu dari institusi ideologis yang paling omnipotent dan omnipresent, mau tidak mau stasiun televisi harus ikut mendukung kampanye antikekerasan terhadap perempuan. Tuntutan ini amatlah tidak berlebihan, mengingat remaja kita terutama remaja putri terus diiming-iming oleh hiburan yang tak bertanggung jawab dari VCD/DVD porno, majalah porno, dan situs-situs internet. Pendidik dan pengamat media Earle Barcus di dalam bukunya Images of Life on Children's Television menegaskan, dewasa ini sedikit yang meragukan bahwa anak-anak dan remaja belajar nilai-nilai, peran sosial, dan tingkah laku dari tontonan televisi. Deskripsi di televisi tentang kelompok minoritas, pembagian peran berdasarkan jenis kelamin dan hubungan-hubungan dalam keluarga bisa memberi dampak mendalam terhadap perilaku anak dan remaja di dalam masyarakat.
Oleh karena itu, sebagai industri kapitalistik, stasiun televisi dan rumah produksi dituntut untuk tidak semata-mata mengejar keuntungan materi. Persoalan tanggung jawab dalam melahirkan dan membina generasi muda yang cerdas dan memiliki wawasan gender tidak hanya milik para guru dan orang tua. Media televisi, sebagai institusi ideologis sebagaimana dikatakan oleh Michel Foucault, harus berperan serta secara aktif. Di antaranya tentu dengan menghadirkan sinetron yang menghargai logika penontonnya. (bob)
0 komentar:
Posting Komentar